Biak, Bila Ingat Akan Kembali
Halo, setelah lama vakum
nulis, saya kembali lagi. Ceritanya mau berbagi apa saja yang sudah saya
rasakan *cie gitu*. Berikut kisahnya,
Tidak pernah membayangkan sebelumnya
kalau saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Biak melalui kegiatan
kuliah kerja dari kampus. Bermodalkan internet dan baca-baca beberapa artikel,
ternyata Biak memiliki peranan penting pada masa Perang Dunia II. Selain itu
surga kecil di kawasan bibir Pasifik ini pernah mengalami masa kejayaan pada
dekade 90-an. Menjadi tempat persinggahan pesawat komersial dari Jakarta menuju
Los Angeles – Amerika Serikat. Ini merupakan salah satu bukti bahwa Biak
memiliki peranan penting sebagai akses ke kawasan pasifik. Tidak
tanggung-tanggung, Biak pernah memiliki hotel bintang lima dengan standar
internasional sebagai sarana akomodasi. Namun, itu semua kini tinggal kenangan.
Tidak ada lagi penerbangan menuju Los Angeles dan hotel tersebut pun kini
tinggal puing akibat krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998. Keren
kan sekilas cerita tentang Biak.
Persiapan yang dilakukan tidak
main-main, karena Biak merupakan wilayah endemi malaria, setiap mahasiswa
diharuskan untuk meminum pil kina yang rasanya super duper pahit itu. Buat saya
yang sulit untuk menelan obat, ini menjadi mimpi buruk. Apalagi jadwal minum
obat yang seminggu sebelum keberangkatan, setelah sampai di tujuan, sampai
kembali lagi ke Jakarta harus ditaati. Walaupun begitu, senang banget pokoknya
akan berkunjung kesana. Apalagi ini bakal jadi penerbangan domestik terlama
yang akan saya lakukan. Rute penerbangan yang akan dilalui adalah Jakarta –
Makassar – Biak. Melewatkan malam minggu di Bandara, pesawat berangkat jam 9
malam dari Jakarta. Tepat tengah malam, sampailah saya di Makassar. Sempet bete di perjalanan karena pas transit di
Makassar tidak diperbolehkan turun oleh awak pesawat. Intip-intip dari jendela
tempat saya duduk ternyata pesawat lagi “minum”
dulu dan hanya penumpang tujuan Makassar yang diperbolehkan turun kemudian ga
lama setelah itu penumpang dari Makassar tujuan Biak - Jayapura pun naik. Untuk
mempercepat proses boarding kali ya, biar cepet sampai tujuan juga. Kalo
diperhatikan, perjalanan ini full load
loh, tidak ada satu bangku yang kosong.
Gagal deh nambah koleksi tumbler.
Padahal rencana udah matang banget buat lari-larian mencari warung kopi biar
bisa beli itu tumbler di tengah waktu
transit yang sempit.
Sesaat sebelum mendarat, ga
henti-hentinya mandangin jendela, pemandangannya bagus. Matahari pagi mulai
intip-intip dibalik awan. Akhirnya sebentar lagi sampai, setelah 6 jam
perjalanan. Mba mugari sempat bilang bahwa kita akan mendarat di Jayapura. Eh,
Jayapura? Loh kan mau Ke Biak? Pesawatnya salah mendarat? Awalnya deg-degan,
tapi ga lama langsung diralat bahwa kita akan sampai di Biak. Fyuh, sepertinya
si mba mugarinya sedang lelah. Memang sih, pesawat yang ditumpangi ini akan
melanjutkan perjalanan kembali menuju Jayapura. Capek banget kan pastinya awak
yang bertugas.
Turun dari pesawat langsung
foto-foto dong. Saking asiknya berfoto ria, sampai dibilangin sama petugas
untuk segera masuk ke dalam bandara untuk mengambil bagasi. Maklum, walaupun
menggunakan nama Bandara Internasional, tidak ada garbarata disini. Jadi turun
pesawat menggunakan tangga, langsung jalan kaki ke arah bangunan sederhana yang
merupakan area kedatangan. Conveyor belt
nya pun hanya ada satu. Di bangunan sederhana itu, banyak orang menunggu bagasi
datang. Lumayan sesak sih, tapi serunya kita bisa lihat proses perpindahan
bagasi dari pesawat ke conveyor belt
karena hanya dibatasi kaca. Eits, tapi dari sekian hal itu semua,
keistimewaan Bandar Udara Internasional
Frans Kaisiepo ini adalah bandara yang memiliki landasan pacu terpanjang di
Indonesia Timur loh.
Minggu
pagi di Biak merupakan hari yang tenang. Disambut dengan gapura bertuliskan Rarama Be Bye yang berarti selamat datang, sepanjang perjalanan
dari bandara ke Wisma Gunadi, tempat menginap, tidak ada toko yang buka.
Ternyata, hiruk pikuk kegiatan warga pada hari itu baru mulai ramai setelah
siang hari atau setelah ibadah minggu. Enak juga ya, tinggal disini. Tidak ada
macet, tidak bising, tenang, dan damai lah pokoknya. Sesampainya di wisma
tempat menginap dan dibagikan kunci, langsung beberes masuk kamar kemudian ke
teras belakang. Dan wow, teras belakang wisma ini langsung menghadap ke
bandara. Jadi bisa liat pesawat lalu lalang deh. Selain itu, karena terletak di
atas bukit, pemandangan kota Biak bisa terlihat dari sini. Apalagi kalau malam
hari, lampu kelap-kelip menjadi pemandangan yang sangat indah.
Pasar Ikan Biak |
Setelah
melihat-lihat sekeliling wisma, saya kemudian kembali ke kamar. Tau-tau sudah
tidur sekitar dua jam lamanya. Mungkin kecapean kali ya. Karena kegiatan kuliah
kerja baru dimulai esok hari, teman-teman mengajak untuk berkeliling kota.
Walaupun masih capek, saya iya kan saja. Soalnya, Mau tau banget keadaan Biak,
kan tadi hanya melihat dari atas udara saja. Pukul 10 pagi, suasana kota masih
belum terlalu ramai. Tujuan pertama adalah Pasar Ikan Biak. Air yang jernih
bikin pengen nyebur, beberapa penjual ikan sedang menjajakan dagangannya.
Sempat bertemu pasangan turis asal Polandia, menurut mereka tidak ada banyak
perubahan di kota ini sejak 20 tahun yang lalu dan mereka kembali kesisi karena
kangen. Terharu ya dengernya. Ternyata kalau mau ke Pasar Ikan, lebih seru pada
malam hari. Suasana pasar lebih terasa. Ikan segar berdatangan langsung dari
nelayan. Buat pecinta makanan laut, ga bakal rugi datang kesini karena beragam
jenis ikan tersedia disini. Sampai-sampai saya yang tidak doyan ikan
terhipnotis untuk mencoba makan ikan, dan ternyata rasanya ikan itu enak ya,
hahaha. Tidak hanya ikan yang dijual di pasar ini. Sayur mayur, perabotan rumah
juga ada. Disini, saya juga berhasil mencicipi makanan tradisional yaitu sagu
bakar. Ada dua rasa, gula merah dan tawar. Kalo saya sih lebih suka yang ada
gula merahnya, soalnya kalo yang tawar bener-bener ga berasa apa-apa. Mungkin
kalo dicocol pake saos atau pun mayonaise
lebih enak kali ya.
Gua Jepang |
Banyak sekali situs peninggalan
PD-II yang sampai saat ini masih dapat dilihat keberadaanya. Salah satunya
adalah Gua Binsari. Beranjak dari Pasar Ikan, perjalanan dilanjutkan
mengunjungi gua ini. Dalam bahasa biak disebut Abyau Binsar, Abyau berarti Gua
dan Binsar berarti nenek. Konon, dahulu kala hidup seorang nenek di dalam gua.
Kini, gua ini lebih dikenal dengan nama Gua Jepang karena pada masa PD-II
digunakan sebagai basis pertahanan dan logistik tentara Jepang. Ya, Biak
dijadikan basis pertahanan oleh Jepang untuk melawan sekutu karena lokasi yang
strategis. Jaraknya tidak begitu jauh dicapai dari pusat kota, cukup berkendara
sekitar 15 menit sudah sampai di lokasi. Sampai di depan kawasan Gua Jepang, terdapat
gapura selamat datang dan sebuah
bangunan museum yang berisi berbagai perlengkapan perang yang digunakan pada
masa itu dan terdapat pula beberapa tulang-belulang tentara Jepang yang gugur.
Sedangkan di pelataran luar bangunan masih terlihat jelas peluru, senjata,
hingga rongsokan pesawat. Untuk menuju ke gua, ikuti saja jalan setapak yang
sudah ada. Samping kanan-kiri jalan ini masih terdapat rerimbunan pepohonan.
Terdapat pula sebuah tugu yang dibangun oleh pemerintah Jepang untuk mengenang
tentara yang gugur dalam pertempuran melawan sekutu yang dapat ditemukan saat
menuju lokasi gua.
Beberapa peninggalan di Gua Jepang |
Menurut cerita, ribuan tentara
Jepang tewas di tempat ini. Tentara sekutu menyerang dengan menjatuhkan bom dan
melemparkan drum bahan bakar yang kemudian ditembaki, sehingga drum
tersebut meledak dan membakar gua tersebut. Beberapa sisa drum bahan bakar
masih terlihat di dalam gua. Ketika masuk ke dalam gua, saya langsung
membayangkan suasana mencekam bagaimana hiruk pikuk tentara Jepang menghadapi
serangan sekutu sampai-sampai bulu kuduk ini berdiri. Spooky banget pokoknya.
Kegiatan
hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh kunjungan dan diskusi ke berbagai instansi,
termasuk bertemu pak bupati beserta jajaran dari dinas terkait, institusi
militer, dan lain-lain. Jadi tau apa saja potensi dan kendala yang dihadapi
kabupaten ini. Kegiatan yang dilakukan sangatlah padat. Setelah melakukan
kunjungan dan mendapatkan paparan, setiap malam dilakukan diskusi sesama
mahasiswa atas data apa saja yang sudah didapatkan. Tidur pun selalu larut,
tapi mendapatkan banyak pengetahuan tentang suatu daerah dari ‘sumbernya langsung”, saya rasa
benar-benar tak ternilai harganya. Selain kegiatan kunjungan dan diskusi.
Disana, kami melakukan kegiatan pengabdian masyarakat yaitu mengenai pengolahan
ikan. Berinteraksi dengan warga lokal yang ramah jadi serasa di rumah sendiri
ya.
Landasan pacu di Pulau Owi |
Hari-hari
terakhir di Biak, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Pulau Owi. Sebuah
pulau yang menjadi basis pertahanan tentara sekutu untuk melawan Jepang. Selain
pantai yang jernih, di pulau ini terdapat
bekas landasan pacu pesawat dari tentara sekutu yang letaknya tidak jauh dari
pantai, hanya perlu berjalan kaki 10 – 15 menit saja dari bibir pantai. Keren
ya, pulau seluas 820 hektare ini saja mempunyai tiga landasan pacu dengan
lintasan yang terpanjang yaitu 3000 meter. Di jalan setapak setapak menuju
landasan masih dapat dilihat beberapa rongsokan bekas peninggalan PD II. Untuk
mencapai Pulau Owi, perjalanan dapat ditempuh selama 1 jam menggunakan speedboat dari Pelabuhan TipTop Biak. Bekas
masa kejayaan Pulau Owi masih terlihat sampai saat ini, walaupun rerimbunan
semak mulai memenuhi sekitar landasan.
Pantai Bosnik |
Sehari sebelum pulang ke Jakarta,
tepatnya hari sabtu, kami beramai-ramai memutuskan pergi ke Pantai Bosnik untuk
refreshing. Pendapat saya tentang pantai ini? KEREN BANGET. Ini pantai yang
memiliki pasir terhalus yang pernah saya kunjungi. Duh, air berwarna biru,
angin semilir, ombak yang landai, benar-benar suasana yang perfect buat leyeh-leyeh atau berenang disana. Terdapat saung-saung
yang berjejer di tepi pantai dan bonus berkunjung kesini adalah bisa melihat
kawanan lumba-lumba langsung dari pinggir pantai (jika beruntung ya :p). Kapan
lagi bisa melihat lumba-lumba berenang bebas tanpa perlu ke tengah laut.
Bener-bener unforgetable banget.
Pengalaman lain yang tak terlupakan
dari pulau ini buat saya adalah pertama kalinya saya makan pisang epe khas
Makassar. Bayangkan untuk mendapatkan kesempatan makan pisang epe saja saya
harus ke tanah Papua dulu. Selain itu bisa nyobain makan ikan karang, ternyata
rasanya sangat enak. Selain Pantai Bosnik, saya juga berkesempatan mengunjungi
Pantai Waterbasis. Snorkeling disini
sangatlah enak, tidak perlu jauh-jauh ke tengah, cukup langsung nyebur dari
dermaga sudah bisa melihat keindahan bawah laut dan bangkai kapal yang karam.
Pokoknya perjalanan ini ga bakal
dilupakan. Kisah manis ini ditutup dengan keberhasilan saya mendapatkan tumbler salah satu warung kopi di
Bandara Sultan Hasanuddin pada saat transit. Walaupun pas mau bayar ternyata
uang di dompet tinggal 40 ribu, sedangkan kartu ATM saya entah dimana. Sepertinya
sih hilang di Bandara Soekarno – Hatta, karena sesaat sebelum berangkat saya
sempat mengambil uang di ATM. Sempat sadar kartu itu ga ada ketika mau ambil
uang di gerai ATM di satu-satunya
supermarket di Biak, yaitu Hadi. Saya pikir keselip, ternyata sampai pulang pun
ga ketemu itu kartu. Lalu bagaimana saya membayarnya? Di dompet saya terselip
dua kartu kredit milik kakak saya, jadi bayarnya pake itu deh. Si mba barista
ga sadar bahwa nama yang tertulis di kartu (yang notabene perempuan) itu bukan
saya. Alhasil berhasil melenggang dengan tumbler baru di tangan. Maafkan saya
ya mba barista :D
Biak, Bila Ingat Akan Kembali. Saya
akan selalu mengingat keseruan selama berkunjung kesana. Saya bertekad untuk
kembali lagi, suatu saat nanti, pasti.
Komentar
Posting Komentar